Jaringan Cerdas, Ancaman yang Lebih Cerdas: Mengamankan Telekomunikasi di Era AI dan Infrastruktur Kritis
Oleh Abhishek Kumar Singh, Kepala, SE, Singapura, Check Point Software Technologies
Dunia tengah menavigasi persimpangan peluang dan risiko yang kuat. Telekomunikasi—yang selalu menjadi utilitas penting—telah menjadi tulang punggung penting ekonomi digital kita. Telekomunikasi mendukung segala hal mulai dari sistem tanggap darurat dan perbankan hingga AI generatif dan kota pintar. Namun, transformasi ini juga meningkatkan kerentanan. Penyerang dunia maya tidak lagi hanya menargetkan data—mereka mengincar infrastruktur yang menjaga masyarakat tetap terhubung.
Sasaran Strategis Siber – Sektor Telekomunikasi
Pada Q1 tahun 2025 , sektor telekomunikasi mengalami persentase peningkatan tertinggi dalam serangan siber mingguan, dengan lonjakan 94%, mencapai 2.664 serangan per organisasi setiap minggu menurut Check Point Research, dengan ekspektasi akan peningkatan.
Laporan Prospek Keamanan Siber Global 2025 dari Forum Ekonomi Dunia juga mengakui bahwa mulai dari spionase siber berskala besar yang disponsori negara melalui infrastruktur telekomunikasi hingga penargetan satelit dan kabel bawah laut, ketegangan geopolitik terus terwujud melalui meningkatnya jumlah serangan terhadap infrastruktur komunikasi penting.
Baca juga:Realme C51s Review, Hape Sejutaan yang layak Diperhitungkan
Kabel bawah laut sangat penting untuk memfasilitasi tidak hanya aliran data global tetapi juga pertukaran ekonomi yang sesuai. Peran strategisnya membuat kabel tersebut rentan terhadap pemantauan dan gangguan, terutama dengan terbatasnya langkah-langkah pertahanan dan meningkatnya ketegangan geopolitik. Insiden yang dialami di Laut Baltik setelah dimulainya perang Rusia-Ukraina menyoroti kebutuhan mendesak untuk melindungi bagian-bagian infrastruktur penting ini.
Peningkatan serangan siber terhadap infrastruktur penting ini disebabkan oleh beberapa faktor:
- Meningkatnya ketergantungan pada infrastruktur digital seperti penerapan 5G telah memperluas permukaan serangan digital secara besar-besaran, terutama melalui node komputasi tepi.
- Telekomunikasi semakin mengintegrasikan AI dan otomatisasi, menciptakan kerentanan baru dalam penyampaian layanan, aliran data, dan interaksi pelanggan.
- Aktor yang disponsori negara kini memandang infrastruktur telekomunikasi sebagai titik masuk yang mudah untuk mengganggu ekonomi nasional, mengumpulkan intelijen, atau menimbulkan kekacauan, yang menjadikan infrastruktur penting ini target utama bagi penjahat dunia maya yang ingin mengeksploitasi kerentanan.
Badan Keamanan Siber Uni Eropa (ENISA) mengklasifikasikan telekomunikasi sebagai sektor infrastruktur penting dengan prioritas utama dalam Laporan Lanskap Ancaman 2024 , sebuah tren yang kini bergema di lebih dari 85 negara di seluruh dunia.
Tanpa (Tele)Komunikasi, Tempat yang Tenang
Dampak potensial dari sistem telekomunikasi yang terganggu jauh melampaui sekadar ketidaknyamanan. Serangan siber pada telekomunikasi dapat melumpuhkan layanan nasional, menggagalkan respons darurat, dan melumpuhkan operasi keuangan, selain hanya menghentikan kemampuan warga untuk saling menghubungi.
Baca juga:Review Kamera Vivo Y17s Berkekuatan 50MP, Kayak Gini Hasilnya?
Kekacauan sosial terlihat jelas beberapa tahun lalu, ketika pemadaman parah pada salah satu jaringan seluler terbesar di Denmark menyebabkan gangguan pada layanan darurat, dengan setidaknya satu rumah sakit terpaksa mengurangi perawatan non-kritis, sementara juga berdampak pada responden pertama dan operasi lintas batas.
Di India, serangan BEC (kompromi email bisnis) pada vendor telekomunikasi menyebabkan kebocoran lebih dari 12 juta catatan pelanggan seluler, termasuk geolokasi, yang kemudian dieksploitasi dalam kampanye phishing yang ditargetkan.
Ini bukan sekadar insiden yang terjadi secara terpisah, tetapi dapat dilihat sebagai peringatan dini. Seiring dengan semakin banyaknya negara yang mendigitalkan infrastruktur penting dan masyarakat yang semakin bergantung pada layanan digital, gangguan telekomunikasi yang disebabkan oleh serangan siber dapat mengakibatkan gangguan ekonomi nasional, hilangnya kepercayaan publik, dan yang terburuk, dalam kasus ekstrem, hilangnya nyawa.
Faktor AI: Pedang Bermata Dua bagi Perusahaan Telekomunikasi
AI merevolusi operasi telekomunikasi. Survei IBM Institute for Business Value terhadap 300 pemimpin telekomunikasi global mengungkapkan bahwa sebagian besar penyedia layanan komunikasi menilai dan menerapkan kasus penggunaan AI gen di berbagai area bisnis.
Sebuah studi tahun 2024 oleh Nvidia 1 menemukan bahwa hampir 90% perusahaan telekomunikasi menggunakan AI, dengan 48% dalam fase uji coba dan 41% secara aktif menerapkan AI. Sebagian besar penyedia layanan telekomunikasi (53%) setuju atau sangat setuju bahwa mengadopsi AI akan memberikan keunggulan kompetitif, menurut studi Nvidia.
AI juga memberi penyerang skala dan presisi yang belum pernah ada sebelumnya. Misalnya, dengan chatbot yang kini menangani semakin banyak interaksi pelanggan telekomunikasi, bot ini kini menjadi target injeksi cepat dan rekayasa sosial .
Di Hong Kong pada tahun 2024, sebuah perusahaan teknik multinasional Inggris dilaporkan ditipu sebesar $25 juta (sekitar HK$200 juta) melalui penipuan deepfake yang melibatkan seorang karyawan di kantor Hong Kong. Karyawan ini ditipu untuk mentransfer dana ke lima rekening bank lokal melalui 15 transaksi setelah menerima panggilan konferensi video dari individu yang mengaku sebagai pejabat senior perusahaan.
Baca juga:Review Kamera Vivo Y17s Berkekuatan 50MP, Kayak Gini Hasilnya?
Membangun Keamanan di Setiap Lapisan
Sementara pemerintah di seluruh dunia telah mulai bekerja sama untuk memastikan sektor infrastruktur penting telekomunikasi menerima perhatian lebih besar untuk keamanan, jelas masih banyak yang perlu dilakukan. Namun, kerangka regulasi seperti Arahan NIS2 Uni Eropa dan Program Pelabelan Keamanan Siber FCC AS, yang bersifat sukarela, mulai mendorong perusahaan telekomunikasi untuk mengadopsi pendekatan yang aman sejak awal.
Misalnya, Arahan NIS2 mengamanatkan bahwa penyedia telekomunikasi mengadopsi postur keamanan yang sepadan dengan ancaman eksternal canggih yang mereka hadapi, khususnya yang ditimbulkan oleh aktor asing. Hal ini memerlukan penerapan praktik manajemen risiko yang kuat, pemantauan berkelanjutan, dan mekanisme respons cepat untuk mendeteksi dan mengurangi ancaman siber secara efektif.
Arahan tersebut menekankan perlunya operator telekomunikasi untuk menilai dan meningkatkan langkah-langkah keamanan siber mereka, memastikan ketahanan terhadap potensi serangan negara-bangsa dan musuh eksternal lainnya.
Program pelabelan keamanan siber sukarela FCC AS, khususnya Cyber Trust Mark, bertujuan untuk memberi insentif kepada produsen perangkat internet of things (IoT), termasuk yang digunakan dalam telekomunikasi, untuk mengadopsi praktik keamanan berdasarkan rancangan. Program ini mendorong perusahaan telekomunikasi untuk mengintegrasikan langkah-langkah keamanan di seluruh siklus pengembangan produk, daripada menambahkannya sebagai renungan.
Di kawasan Asia–Pasifik, negara-negara seperti Jepang dan Singapura memperkuat undang-undang siber mereka, dengan Undang-Undang tentang Perlindungan Informasi Pribadi (APPI) Jepang dan Undang-Undang Keamanan Siber Singapura yang memperkuat kepatuhan bagi operator infrastruktur penting.
Namun, untuk melawan ancaman yang terus berkembang, penyedia telekomunikasi harus melampaui kepatuhan dan mengadopsi keamanan siber sebagai fungsi strategis inti. Fungsi tersebut meliputi:
Tim merah AI – Simulasi serangan pada sistem berbasis AI untuk mengidentifikasi kelemahan sebelum musuh melakukannya.
Biometrik suara & analisis waktu nyata – Untuk mendeteksi audio deepfake AI atau komunikasi palsu.
Pencegahan ancaman tingkat lanjut – Memanfaatkan solusi berbasis AI seperti Check Point GenAI Protect , AI Cloud Protect , dan ThreatCloud AI untuk memungkinkan pencegahan real-time di semua lingkungan—termasuk on-premise, DevSecOps, cloud, aplikasi, dan ruang kerja. Selain itu, analisis paparan ancaman dan penilaian risiko yang berkelanjutan merupakan bagian penting untuk mencapai strategi pencegahan ancaman yang sepenuhnya otomatis dan adaptif.
Di kawasan seperti Asia Tenggara, beberapa perusahaan telekomunikasi telah bermitra dengan Check Point untuk menerapkan deteksi ancaman berbasis cloud dan kebijakan SD-WAN yang aman di seluruh zona peluncuran 5G mereka. Dalam satu kasus, waktu respons insiden berkurang hingga 30% dalam waktu enam bulan, sehingga meningkatkan kelangsungan bisnis secara drastis.
Ketahanan adalah Bandwidth Baru
Saat dunia berlomba menuju transformasi digital penuh, jaringan telekomunikasi adalah benang yang menyatukan semuanya. Namun, sistem yang cerdas dan terhubung juga dapat runtuh dalam skala besar jika tidak dilindungi secara memadai. Pada tahun 2025 dan seterusnya, kita harus memperlakukan keamanan siber dalam telekomunikasi bukan sebagai bagian dari TI, tetapi sebagai pilar keamanan nasional dan global.
Telekomunikasi adalah sistem peredaran darah dunia digital kita. Namun, seiring dengan percepatan AI dan semakin canggihnya musuh siber, risiko kegagalan sistemik pun meningkat. Masa depan ketahanan telekomunikasi bergantung pada apakah kita dapat mengamankan apa yang kita inovasikan—dan apakah pertahanan kita berkembang lebih cepat daripada ancaman yang kita hadapi.
Anda mungkin suka:Review Acer Swift Go 14 SFG14-41 R72E, Laptop Ringan Bertenaga Ryzen 5 7530U
Post a Comment for "Jaringan Cerdas, Ancaman yang Lebih Cerdas: Mengamankan Telekomunikasi di Era AI dan Infrastruktur Kritis"